Selasa, 02 Agustus 2011

Sejarah Aikido bersama O Sensei Morihei Ueshiba


Aikido tidak dapat dipisahkan dari Morihei Ueshiba, bapak dan penemunya sampai saat ini. Ajarannya lebih banyak menyangkut soal kehidupan. Disiplin filosofinya yang dekat dengan masalah sehari-hari tidak mengambang di awang-awang - lebih menekankan bersikap, berpikir, dan bertindak yang benar dalam hubungan kita dengan sesama manusia dan alam sekitar

Morihei Ueshiba
Morihei Ueshiba lahir di Tanabe, daerah Wakayama, 14 Desember 1883. Ia anak tertua dari empat bersaudara buah perkimpoian Yoroku Ueshiba dan Yuki Itokawa. Mereka berasal dari keluarga tuan tanah, keturunan bangsawan

Sewaktu berumur 7 tahun, Morihei dikirim orang tuanya ke Jizodera, yang berdekatan dengan kuil kaum Buddhis sekte Singon, untuk belajar tentang ajaran Konfusius kuno dan kitab-kitab suci agama Budha. Ia sangat terpesona akan kisah-kisah ajaib dari pendeta Budha, Kobo Daichi, dan mulai berkhayal tentang hal yang aneh-aneh. Padahal, Yuki, sang ibu, menghendaki agar ia menjadi lelaki yang kuat seperti pesumo

Morihei menyelesaikan sekolah menengahnya di Tanabe dalam usia 13 tahun. Kemudian, ia meninggalkan bangku sekolah lanjutan atas sebelum lulus. Ia sempat pula belajar di Institut Yoshida Abacus. Setelah mendapat diploma, ia bekerja sebagai pegawai di Kantor Pajak Tanabe, sampai 1902. Lalu ia menggabungkan diri dengan gerakan penentang kekuasaan kaum legislatif baru yang waktu itu berkuasa

Setelah itu, Ueshiba pergi ke Tokyo. Untuk beberapa saat, ia menjadi pedagang alat-alat kantor dan sekolah di Ueshiba Trading Company di Nihombashi. Selama berada di Tokyo itulah ia mulai belajar tentang ilmu bela diri : jujutsu dan kenjutsu. Sekembalinya dari Tokyo, ia pergi ke Tanabe dan menikahi Hatsu Itokawa (lahir 1881), wanita yang dikenalnya sejak kanak-kanak.

Pada 1903, Morihei masuk dinas militer dan tergabung dalam resimen 37 Divisi Keempat di Osaka. Di situ, ia dijuluki "si Raja Prajurit" berkat kemahirannya memainkan bayonet. Ketika pecah perang Rusia - Jepang, ia dikirimkan ke garis depan dengan pangkat kopral. Kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi sersan, setelah perang usai, berkat keberaniannya di medan laga.

Masa senggangnya, ketika masih berdinas militer, ia pergunakan untuk melanjutkan minatnya memperdalam ilmu bela diri. Ia datangi dojo Masakatsu Nakai di Sakai. Di situ ia mempelajari Yagyu-ryu jujutsu.

Pada 1907, ia diberhentikan dari dinas militer dan kembali ke Tanabe, lalu bekerja di pertanian milik keluarga. Di situ, ia berkecimpung di bidang politik - salah satunya menjadi pemimpin gerakan asosiasi pemuda setempat. Selama periode ini, ayahnya memperkenalkannya kepada judoka Kiyoichi Takagi, yang sedang berkunjung ke Tanabe. Kepadanyalah Morihei belajar judo gaya Kodokan.

Selama tiga tahun tinggal di Tanabe, Morihei aktif dalam banyak kegiatan. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah rencana penyelesaian pemerintah yang berkuasa pada waktu itu atas wilayah Shirataki, di sebelah utara Pulau Hokkaido.

Ia memutuskan menjadi sukarelawan dan pemimpin kelompok Kishu, yang terdiri atas 44 kepala keluarga. Kelompok dengan jumlah anggota kurang lebih 80 orang itu meninggalkan Tanabe pada Maret 1912, menuju Hokkaido. Tiba pada bulan Mei berikutnya, ia lalu menetap di Shirataki, di sebuah desa dekat Yobetsu.

Shirataki, daerah tak bertuan, kemudian dijadikan tanah garapan - setelah kelompok pimpinan Morihei menjadikan tanah ini daerah koloninya. Akhirnya, kelompok Kishu berhasil mengolah tanah ini menjadi daerah subur penghasil kayu. Ia juga membuat pengolahan susu dan peternakan kuda.

Tatkala ia menyinggahi Engaru, Morihei mengenal Sokaku Takeda, yang kemudian diketahui sebagai master Daito-ryu jujutsu. Ia lalu berguru pada Takeda dan berhasil mendapat sertifikat .

Kemudian Shirataki sedang mengalami masa kejayaan, terutama dari industri kayunya, pada 23 Mei 1917, daerah tersebut mengalami musibah kebakaran yang hebat, yang memporakporandakan hampir seluruh wilayah yang maju pesat tersebut. Ketika itu, Morihei Ueshiba, yang terpilih sebagai anggota dewan kotapraja, harus berjuang ekstra keras guna membangun kembali wilayah Shirataki yang nyaris musnah. Pada Juli 1917, lahirlah anak pertamanya, Takemori.

Pada pertengahan November 1919, Morihei mengalami guncangan jiwa ketika mendengar kabar bahwa ayahnya sakit serius. segera ia meninggalkan Hokkaido menuju Tanabe. Sepeninggalnya itu, wilayah Shirataki terlantar sekitar delapan tahun.
Dalam perjalanan pulang, ia mendengar nama seseorang pemimpin spiritual yang ramai dibicarakan : Onisaburo Deguchi, yang memimpin semacam "agama" baru, Omotokyo, dan terkenal dengan ajarannya, Chinkon Kishin. Ajaran itu adalah menenangkan jiwa dengan kembali ke Tuhan, yakni cara untuk bermeditasi. Deguchi tinggal di daerah dekat Ayabe. Morihei, menaruh minat besar dalam bidang spiritual, segera mengunjunginya, lalu menetap di Ayabe sampai 28 Desember 1919.

Ia meminta Onisaburo Deguchi mendoakan ayahnya yang sedang sakit, tapi Deguchi menjawab," Ayahmu dalam keadaan baik-baik saja". Kalimat yang diucapkan itu sangat membekas dalam jiwa Morihei. Ayahnya meninggal pada 2 Januari 1920 dalam usia 76 tahun .

Kepergian ayah yang dicintainya itu membuat Morihei sangat terpukul. Emosinya tidak stabil. Pada periode ketika kondisi emosinya belum stabil itu, ia memutuskan pindah ke Ayabe untuk mencari kehidupan spiritual lagi di bawah bimbingan Deguchi. Di Ayabe, ia tinggal selama delapan tahun untuk kemudian pindah lagi ke Tokyo pada 1928.

Di masa-masa itu, Deguchi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupannya. Morihei mengubah tempat tinggalnya menjadi sebuah dojo dengan 18 matras, lalu membuka Akademi Ueshiba .

Terlintas dalam pikirannya untuk mengajarkan seni bela diri, terutama kepada pengikut Omoto-kyo. Namun, sebuah tragedi menimpanya lagi pada tahun pertama ia tinggal di Ayabe. Morihei kehilangan putranya yang sangat dikasihinya, Takemori. Anak pertamanya itu meninggal karena sakit di usia 3 tahun pada bulan Agustus. Bulan berikutnya, kembali ia dirundung musibah. Anak keduanya, Kuniharu, menyusul abangnya ke alam baka saat masih berumur setahun .

Segala kepedihan atas kepergian buah hatinya itu tak membuatnya pupus dalam mengasuh sarana pendidikan bela diri yang ia dirikan. Tahun-tahun berikutnya, Akademi Ueshiba semakin maju. Murid-murid yang belajar padanya tidak hanya pengikut Omoto-kyo, tapi juga para kelasi dari bandar laut Maizuru.

Pada 11 Februari 1921, penguasa setempat melarang semua bentuk kegiatan yang dilakukan kelompok Omoto-kyo. Semua pengikutnya ditangkap, termasuk Onisaburo Deguchi. Untunglah semua peristiwa itu tidak mempengaruhi kelangsungan Akademi Ueshiba.

Dua tahun setelah itu, Morihei berhasil membebaskan pemimpin Omoto-kyo dengan uang jaminan. Ia lalu mengolah lahan di Tennodaira. Di situlah kemudian Morihei hidup bertani sambil mengajarkan ilmu bela diri.

Saat itu, Morihei sudah mulai memasukkan unsur-unsur spritual. Lambat laun ia meninggalkan tradisi yang berlaku di Yagyu-ryu dan Daito-ryu jujutsu. Ia mulai mengembangkan sendiri prinsip untuk menggabungkan pikiran (jiwa) dengan badan. Ajaran itu kemudian dikenal hingga saat ini. Pendekatan prinsip semacam itu mulai dikenal sebagaiAiki bujutsu, lalu masyarakat luas lebih mengenalnya sebagai Ueshiba-ryu aiki bujutsu.
Pada 1924, Morihei melakukan pelayaran, yang merupakan saat-saat genting dalam perkembangan spritualnya. Pada 13 Februari, secara diam-diam ia pergi bersama Onisaburo Deguchi ke Manchuria dan Mongolia. Saat tiba di Mukden dan bertemu dengan panglima perang Manchuria yang sangat masyhur, Lu Chang K'uei - yang juga pemimpin Tentara Pembebasan Mongolia - Morihei diberi nama kehormatan: Wang Shaou Kao.

Pada 20 Juni1924, terjadi huru-hara. Morihei malah menjadi korban ketika seorang panglima perang lain, Chang Tso Lin, memburunya. Ia bersama Deguchi dan empat pengikut lainnya ditawan tentara China dan divonis hukuman mati.

Untunglah, ketika hukuman mati akan dilaksanakan, ia diselamatkan oleh seorang konsul Jepang, yang kemudian membawanya kembali ke tanah airnya, Jepang. Morihei kembali menjadi petani di Tennodaira. Saat itulah ia mulai belajar sojutsu, ilmu toya, dan jujutsu.

Pada 1925, ia bertemu dengan seorang nakhoda ahli bela diri kendo. Dalam pertemuan itu, ilmu bela diri yang pernah Morihei pelajari dicoba. Bapak Aikido ini dikalahkan tanpa melalui pertarungan sesungguhnya. Morihei merasa serangannya menjadi sia-sia karena toya sang master kendo itu selalu mendahuluinya.

Setelah kejadian itu, ia pergi menyepi. Pengalaman-pengalaman yang pernah diperolehnya semakin membuatnya kaya batin dan mencapai puncaknya ketika ia mengalami pencerahan jiwa.

Saat itulah ia menemukan akar filosofi aiki budo. Menurut dia, nama aiki budo lebih tepat ketimbang aiki bujutsu. Sejak saat itu, aiki budo menjadi sangat terkenal dan banyak pengikutnya, termasuk diantaranya Admiral Isamu Takeshita. Pada 1926, setahun setelah menjadi guru sang admiral, Morihei diundang mengunjungi kediaman Takeshita di Tokyo.

Ketika berada di Tokyo, ia juga menetap beberapa saat di kediaman Perdana Menteri Gombei Yamamoto. Dua tahun kemudian, Morihei pindah dan menempati sebuah rumah di dekat kuil Sengaku di Kuruma-cho. Tempat kediamannya lalu diubah menjadi dojo, dengan murid antara lain Isamu Fujita, Shoyo Matsui, Kaizan Nakazako, dan aktor kabuki, Kigoro Ennosuke VI.

Morihei mendapat sebuah villa di Ushigone, Wakamatsu-cho, pada 1930, dan mendirikan dojo di Mejirodai. Saat itulah ia pertama kali dikunjungi Jigoro Kano, bapak dan pendiri judo Kodokan. Kano sangat terkesan melihat teknik yang diciptakan Morihei. Kano sempat berucap, "Inilah budo yang ideal". Ia lalu mengutus dua muridnya, Jiro Takeda dan Minoru Mochizuki, untuk berguru pada Morihei.

Yang juga mengesankan adalah ketika Mayor Jenderal Makoko Miura mengunjungi dojonya. dengan penuh keyakinan, sang Jenderal kemudian mempersilakan Morihei melawannya. Tak dinyana, Miura dapat dikalahkan Morihei dengan cepat. Jenderal berbintang dua itu langsung menjadi salah satu muridnya. Dan berkat rekomendasi dari Miura, Morihei menjadi instruktur di Akademi Militer Toyama.
Pada April 1931, dojo Aiki budo resmi disebut Kobukan. Banyak orang belajar di sana, antara lain Hisao Kamata, Hajime Iwata, Kaoru Funabashi, Tsutomu Yugawa, dan Rinjiro Shirata. Kobukan terkenal sebagai "dojo neraka" karena disiplin pelatihan yang diterapkannya sangat keras .

Kesibukan Morihei makin menjadi-jadi. Ia tidak saja melatih di dojo Kobukan, tapi juga di dojo lain di Tokyo dan Osaka. Dojo utamanya, Otsuka di Koishikawa, disponsori oleh Seiji Noma - pemimpin Kodansha. Dojo ini kemudian terkenal sebagai Noma Dojo. Begitu juga Fujimi-cho di Ladabashi serta dojo Sonezaki di Osaka. Di situ, Morihei sering berkumpul dan berlatih bersama Shigemi Yonekawa, Zenzaburo Akazawa, Gozo Shioda, dan Tetsumi Hoshi.

Lalu, Society for the Promotion Japanese Martial Arts, yang berdiri pada 1933, menunjuk Morihei sebagai presiden lembaga ini. Bapak aikido itu kemudian membuka dojo Takeda, tempat berlatih yang dipakai 24 jam terus-menerus setiap hari. Saat itulah Morihei Ueshiba menjadi sangat masyhur. Kreasi murninya tentang " harmony badan dan jiwa " (the union body and soul) kemudian disebut aiki budo.

September enam tahun kemudian, ia diundang mengunjungi kompetisi antar cabang bela diri di Manchuria. Di situ, Morihei diharuskan melawan bekas pemain sumo, Tenryu. Morihei dapat menjatuhkannya hanya dengan menekuk satu jarinya.

Kedatangan terakhirnya ke Manchuria terjadi pada 1942, ketika ia mengunjungi Perayaan ke-10 Kehadiran Jepang di Manchuria atas undangan Asosiasi Perguruan Bela Diri. Di situ, ia mendemonstrasikan seni bela diri Jepang di hadapan Kaisar Pu Yi.

Santunan dana serta pengakuan dari pemerintah Jepang diperoleh dojo Kobukan pada 30 April 1940 - juga digabung di bawah naungan menteri dari Departemen Kesejahteraan Rakyat. Admiral Isamu Takeshita duduk sebagai presiden yayasan itu. dalam tahun yang sama, Morihei mengajar di akademi kepolisian dan menjadikan pelatihan bela diri itu sebagai kurikulum wajib .

Asimilasi aiki budo ke dalam Butokukai, semacam lembaga pemerintah yang menangani organisasi-organisasi bela diri yang ada, terjadi pada 1941. Minoru Hirai ditunjuk memimpin dojo Kobukan. Saat itulah nama aikido untuk pertama kali dipakai.

Kemudian, Morihei membentuk wadah organisasi aikido di daerah Ibaragi. setelah perang usai, ia hijrah ke Iwama bersama Hatsu, istrinya. Di Iwama, ia mulai membangun apa yang disebut ubuya, yakni semacam tempat suci atau peribadatan. Tempat yang kemudian dikeramatkan ini terletak di luar dojo. Di dalamnya terdapat relief-relief.

Dojo yan dibangun pada 1943 itu terkenal dengan sebutan "Ibaragi Dojo Annex". Empat puluh tiga dewa diabadikan di dalam tempat suci itu. Susunan tata ruangnya mengikuti pola-pola alam, segi tiga, lingkaran, dan segi empat. Bangunannya terbagi atas ruang utama, tempat berdoa, dan tori (semacam bangunan kuil Shinto, lengkap dengan pintu gerbangnya). Pembangunan dojo ini baru selesai pada akhir Perang Dunia II.

Ketika Perang Dunia II berkecamuk, dojo Kobukan hancur lebur dibom pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat. Akibatnya, sekitar 30 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal, dan untuk sementara pusat kegiatan aikido dipindahkan ke Iwama.

Seusai Perang Dunia II, aikido sempat mengalami kemunduran beberapa saat. Dan ketika perang reda, kegiatannya dipindahkan ke Tokyo. Pada 9 Februari 1948, menteri pendidikan Jepang memberikan santunan dana guna membangun kembali Aikikai, dan dojo utama ditasbihkan sebagai Ueshiba Dojo dan menjadi pusat kegiatan organisasi Aikido.

Morihei Ueshiba kembali melakukan perjalanan keliling Jepang pada 1950, dalam rangka memenuhi undangan berceramah, mengajar, dan menggelar serangkaian demonstrasi ilmunya. Ketika mencapai usia 70 tahun, Morihei mengutamakan unsur "cinta kasih" dalam setiap pelatihannya. Perkembangan spiritualnya kelihatan sangat menonjol dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada 1950, kegiatan aikido pindah ke Tokyo. Dan di tempat itulah berdiri Yayasan Aikikai Tokyo. Untuk pertama kalinya, pada September 1956, aikido didemonstrasikan untuk umum di Pusat Perbelanjaan Takashimaya di Nihombashi, Tokyo. Unjuk kebolehan aikido itu mendapat sambutan hangat dari pengunjung.
Sejak saat itulah aikido makin mengalami kemajuan pesat dan banyak diminati masyarakat dari segenap lapisan bangsa. Di Jepang sendiri makin banyak berdiri dojo aikido, yang dibanjiri peminat dari kalangan kantor pemerintah, pelajar, mahasiswa, serta kalangan perusahaan swasta .

Ketika usianya semakin tua, Morihei mulai meninggalkan hal-hal yang berkenaan dengan segala urusan Aikikai. Namun, ia tetap sering melakukan demonstrasi aikido. Pada Januari 1960, televisi pemerintah Jepang, NTV, menayangkan acara The Master of Aikido. Tayangan ini mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat pemirsa, bahkan selanjutnya dibuatlah film yang menggambarkan bagaimana sang Master Aikido menunjukkan keandalannya.

Sekali lagi Morihei, pada tahun yang sama memukau banyak orang ketika melakukan untuk kebolehan. Acaranya disponsori Shinjuku Aikikai, Tokyo. Demonstrasinya itu disebut sebagai "hakikat aikido" yang sebenarnya.

Setahun kemudian, ia bersama Yosaburo Uno (dan-10) meraih anugerah Shijuhosho, penghargaan istimewa dari Kaisar Hirohito. Hanya tiga orang master bela diri yang pernah menerima anugerah semacam itu.

Morihei kemudian mengadakan perjalanan ke Amerika atas undangan Hawaii Aikikai pada 28 Februari 1961. Dan pada 7 Agustus 1962 diadakan festival aikido terbesar untuk merayakan 60 tahun Morihei menjadi praktisi aikido dan seni bela diri lain yang pernah ditekuninya. Sekali lagi Kaisar Hirohito, pada 1964, memberinya penghargaan khusus atas jasa-jasanya memajukan seni bela diri tradisional Jepang .

Kesehatan sang Master tiba-tiba anjlok saat ia menghadiri perayaan Tahun Baru di Hombu Dojo. Kesehatannya kian memburuk. Akhirnya, pada 26 April 1969, pukul 05.00, Morihei meninggalkan dunia fana dengan tenang.Pada hari yang sama, jenazahnya diperabukan. Abu jenazahnya diletakkan di kuil keluarga di Tanabe oleh Kaisar Hirohito. Potongan-potongan rambutnya ditaruh di Aiki Shrine di Iwama, di makam keluarga di Ayabe, dan di Kumaro Grand Shrine. Sang Guru Besar memang telah pergi. Namun, kata-kata terakhirnya "Aikido adalah manifestasi cinta kasih", selalu dan dikenang para penerusnya .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger